Iklan

terkini

Setengah Abad Bergantung Hidup dengan lidi Pelepah Daun Nyiur

8/16/2019, 22:09 WIB Last Updated 2020-02-14T10:56:25Z
50 Tahun Bergantung Hidup pada Pelepah Tulang Daun Nyiur

PADANG PARIAMAN, KABAMINANG- Di tengah-tengah usaha Pemerintah Kabupaten Padang Pariaman membangun sektor ekonomi dengan berbagai program, Angku Bahar warga Batu Gadang, Sungai Garinggiang juga tengah berjuang hidup dari penghasilan jual sapu lidi. 

Angku Bahar, di usia 90 tahun tampak fokus meraut tulang pelepah nyiur. Di bibirnya terselip sebatang rokok nipah, satu per satu lidi dipisah dari pelepah daun nyiur dengan menggunakan sebilah pisau lipat. 

Kerap dipanggil Angku, dia mengaku telah melakoni pekerjaan serabutan selama 50 tahun. Tak pernah mendapat bantuan Program Keluarga Harapan (PKH), tak membuat Angku Bahar surut berusaha meraup sedikit upah dari penjualan sapu lidih yang terbilang murah. 

"Lah 50 tahun Den (saya) kerja ini, semenjak sapu lidi satu ikat 200 rupiah. Kini lah turun pula harganya, dari seribu per ikat menjadi 800 rupiah, " sebut Angku di teras rumah kosong, tempat ia meraut pelepah nyiur setiap harinya, Batu Gadang, Sungai Garinggiang, Jumat 16 Agustus 2019.

Ketika dirinci penghasilan ia selama satu hari, Angku bahar dapat rupiah dengan jumlah tak seberapa. Namun baginya uang 8 ribu setiap hari yang didapat dari penjualan sepuluh ikat sapu lidi, bak oase ditengah gurun pasir, bisa menghilangkan dahaga. 

"800 rupiah saikek (satu ikat). Di kali 10, jadi 8 ribu, segitu hasil seharian. Alhamdulillah Yuang, " kata dia sembari senyum. 

Setiap hari, Angku bisa menyelesaikan sepuluh ikat sapu lidih. Di jual kepada warga sekitar seharga 800 rupiah per ikat. Dari hasil penjualan yang ia tabung, dengan itulah Angku Bahar bergantung hidup. 

"Ada anak-anak saya, namun juga susah ekonominya. Tu contoh si Mai (anaknya), sudah janda dan punya lima orang anak yang dihidupkannya," kata Angku. 

Saat itu Mai anak Angku Bahar juga ada di sekitar lokasi, ia berumur 40 tahun, menghidupkan 5 orang anak sementara suaminya telah meninggal dunia. 

"Gimana lagi bilang kalau hidup susah. Sementara ada tetangga yang mohon-mohon minjam uang untuk beli beras dengan cara menjual lidi pada saya. Iba saya lihat, saya beli juga dengan uang tabungan, " ungkap Mai. 

Sembari bekerja meraut lidi daun nyiur, Mai juga sering membeli lidi yang telah diraut oleh tetangga dengan harga dibawah kisaran dari pengepul. 

"Kita bilang hidup susah, ternyata banyak lagi yang lebih susah. Saya harus bersyukur dengan hasil ya segini, demi lima orang anak saya yang telah yatim, " jawab Mai, saat ditanya soal biaya sehari-hari. 

Mai dan Angku Bahar, beserta 5 orang cucunya jelas termaksud katagori masyarakat miskin. Mereka hanya bergantung hidup dengan kerja serabutan. 

"Jual pinang, jual coklat, jual asam dan sapu lidi, semuanya yang bisa dijual dari hasil tanaman, dari situ ekonomi bergantung. Tak banyak rupiah dapat sebab hasil bumi yang dijual tak juga banyak, " cetus Angku Bahar saat bersama Mai. 

Pada kesempatan yang lain, salah satu pengepul di kawasan itu bernama Ajo Utiah mengatakan, hampir setiap warga sekitar bekerja maraut pelepah daun nyiur. Dari warga sekitar ia mendapat sapu lidi dan dijual ke Jawa. 

"Saya jual ke Jawa. Sekarang harga untuk satu ikat saya beli kisaran 800 ratus hingga 1000 rupiah. Di Jawa harga saya jual dengan harga tak terlalu tinggi lah, " jawab Ajo Utiah, tak mau mengatakan berapa harga jual di Jawa. 

Ia mengatakan, di kawasan itu cuma dia yang mengepul sapu lidi hasil rautan warga sekitar. "Sifatnya cuma membantu. Tu sapu lidi yang telah saya beli masih teronggok di gudang. Nantik kalau sudah banyak baru saya jual. Cuma bantu-bantu warga. Hasilnya tak banyaklah, " pungkas Ajo Utiah.  
Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Setengah Abad Bergantung Hidup dengan lidi Pelepah Daun Nyiur

Terkini

Iklan